MRP DI BUBARKAN

seputarpapuadrkamfisip
“ MRP dapat menjadi lembaga super body menuju papua merdeka, Sehingga lembaga itu dikebiri fungsinya dan manfaatnya sebagai Lembaga representative cultural orang Asli Papua”
      Majelis rakyat papua (MRP) lembaga yang didirikan berdasarkan uu no 21 tahun 2001 ini semula mendapat sambutan baik dari berbagai komponen masyarakat. Karena mempunyai peran sangat mendasar bagi masyarakat papua. Khusunya sebagai lembaga pemberdayaan serta perlindungan masyarakat adat, perempuan, dan agama. MRP lembaga yanga berdiri setelah 4 tahun uu no 21 tahun 2001 berjalan ini dinilai sebagi roh dari uu no 21 tahun 2001 (otsus), karena mempunyai fungsi amat vital dalam pembangunan masyarakat papua. Tetapi seiring berjalannya waktu masyarakat mulai gusar dengan MRP, karena di anggap tidak menjalankan fungsinya sebagaimana mestinya. Bahkan fungsi MRP sebagai lembaga legislasi seolah di kebiri. Mengingat lembaga yang berdiri di tengah dilemah perpolitikan papua yang masih berpautan pada konggres papua II pada tahun 2000, yang apresiasi masyarakat asli papua adalah merdeka (melepaskan diri dari NKRI). Sehingga berbagai pihak beranggapan, dikebirinya fungsi dari MRP karena ketakutan pemerintah yang berlebihan. Pemerintah beranggapan MRP dapat menjadi lembaga super body menuju papua merdeka. Ketakutan tidak beralasan ini dapat di nilai dengan berbagai tindakan pemerintah mensisikan lembaga ini. Diantaranya pembangian provinsi Papua menjadi dua bagian (IJB dan Papua) tanpa berkompromi dengan MRP, jelas-jelas UU NO 21 PASAL 26 telah di langgar oleh pemerintah. Didaerah, MRP seolah berjalan di tempat berbagai perdasi perdasus untuk mendukung fungsi MRP tidak di keluarkan. Pembentukan MRP dinilai hanya untuk mengurangngi kuncuran dana otsus di papua tanpa suatu tindakan nyata bagi masyarakat ! Sehingga mandulnya MRP berbuntut aksi protes berupa tuntutan untuk segera membubarkan lembaga tersebut, karena dinilai gagal sebagai lembaga representatif hak-hak masyarakat asli papua selama lima tahun berjalan. Mengingat UU NO 21 TAHUN 2001 dinyatakan gagal oleh masyarakat pada musyawarah besar MRP bersama rakyat papua pada tahun 2010, dan telah menghasilkan 11 rekomendasi. Salah satunya ialah otsus gagal dan bubarkan majelis rakyat papua (MRP). Musayawarah yang dilanjutkan dengan aksi demonstrasi berbagai komponen masyarakat di gedung DPRP mendesak pemerintah menyanggupi keinginan masyarakat tersebut. Justru tanggapan dingin pemerintah yang seolah tidak mau menghiraukan berbagai tuntututan itu, di awal tahun 2010 pemerintah daerah dengan menyusun draf raperdasus pemilihan anggota MRP jilid dua, yang agak ulur hingga 2011. Itu mendapat sorotan berbagai komponen masyarakat dan akademisi yang meragukan akan suksesnya pemilihan MRP jilid dua itu. Komponen masyarakat dalam hal ini gereja-gerja turut angkat bicara menolak pemilihan MRP jilid dua karena di pastikan dampaknya buruknya pasti di rasakan oleh masyarakat asli papua,karena tidak dapat mengakomodir keinginan serta kesejahteraan rakyat. Tetapi pemerintah daerah dalam hal ini DPRP melalui ketua pansus pemilihan MRP jilid dua menyampaikan bahwa sebaiknya masa waktu pemilihan MRP harus di undur selama enam bulan, untuk persiapan yang lebih baik dan terlihat tidak tergesah-gesah. Tetapi tentunya penolakan terhadap pemerintah pasti datang dari masyarakat papua, yang memang selama ini tidak merasakan dampak dengan berdirinya lembaga tersebut. Sekiranya kedaulatan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat dapat di berikan oleh pemerintah pada masyarakat Papua.  (yason ngelia)